Rabu, 04 Januari 2012

pendidik yang berkarakter kuat dan keras


      Pendidik yang berkarakter kuat dan cerdas                  

                                           NAHRISA HI MUKSIN
    ABSTRAK:pendidik  yang berkarakter kuat dan cerdas adalah di saamping fisik yang kuat,pendidik harus memiliki kepribadian yang utuh,matang,dewasa,berwibawa,berbudi pekerti luhur,bermoral baik,penuh tanggung jawab, dan memiliki jiwa keteladanan, dan memiliki keteguhan atau ketetapan hati untuk berjuang membangun dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia seutuhnya melalui tugas-tugas yang di embanya dan tidak mudah terpengaruh pada upaya-upaya atau kondisi yang dapat mengakibatkan mereka keluar (out of  trak )dari ”jalan dan perjuangan yang benar”.
Kata kunci:pendidik yang berkarakter kuat,dan cerdas
pendahuluan: merupakan paparan bagaimana seharusnya seorang guru. Guru harus memiliki pendidikan itu sendiri.komitmen yang kuat dalam melaksanakan pendidikan secara holistic yang berpusat pada potensi dan kebutuhan peserta didik. Pendidik juga harus mampu menyiapkan peserta didik untuk bisa menangkap peluang dan kemajuan dunia dengan perkembangan ilmu dan tekhnologi. Disisi lain, pendidikan juga harus mampu membukakan mata hati peserta didik untuk mampu melihat masalah-masalah bangsa dan dunia seperti, kemiskinan, kelaparan, kesenjangan, ketidakadilan, dan persoalan lingkungan hidup.Diperlukan sosok guru yang berkarakter kuat dan cerdas. Guru berkarakter kuat. Ia bukan hanya mampu mengajar tetapi ia juga mampu mendidik. Ia bukan hanya mampu menstransfer pengetahuan ( transfer of knowledge ) tetapi ia juga mampu menanamkan nilai-nilai yang diperlukan untuk mengarungi hidupnya. Guru yang cerdas. Ia bukan hanya memiliki kemampuan yang bersifat intelektual tetapi juga memiliki kemampuan secara emosi dan spiritual sehingga guru mampu membuka mata hati peserta didik untuk belajar, dan selanjutnya mampu hidup dengan baik di tengah-tengah masyarakat.Sosok guru yang berkarakter kuat dan cerdas, diharapkan mampu mengemban amanah dalam mendidik peserta didiknya. Guru harus memiliki kompetensi utama yang harus melekat pada guru. Yaitu nilai-nilai keamanahan, keteladanan, dan mampu melakukan pendekatan pedagogis serta mampu berpikir dan bertindak cerdas.  

Pembahasan:Pada abad XX1 telah terjadi pergeseran tujuan pendidikan yaitu dari industri (abad XIX dan XX)  menuju ke pengetahuan. Mencermati tren masa depan yang ditandai dengan: perlunya penguasaan bahasa internasional dalam komunikasi antar bangsa, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat,  layanan dan produk baru teknologi dikeluarkan dan ditawarkan dalam hitungan menit, perdagangan global  memunculkan ketatnya persaingan dalam berbagai bidang kehidupan, perkembangan iptek yang pesat menuntut tersedianya tenaga yang berkompetensi, dll, menuntut format pendidikan haruslah fokus, memiliki arah, tujuan (Diperlukan Pendidik Yang Berkarakter dan Cerdas

             purpose), target dan imajinasi kehidupan yang diidealkan di masa depan    . Pendidikan harus sanggup menghasilkan produk anak terdidik yang cerdas,    karena pendidikan mempunyai andil besar dalam mempertanggungjawabkan     kondisi moralitas bangsa dan kualitas SDM.
Disisi lain, krisis multidimensional telah melanda bangsa Indonesia yang     kemudian “diobati” dengan reformasi, ternyata diikuti pula oleh beberapa anomal           yang bersifat kontraproduktif, yakni krisis etika dan moralitas yang semakin akut.       Dekadensi moral yang luar biasa merupakan penyebab utama keterpurukan   bangsa yang dulu dikenal sebagai bangsa yang santun dan taat beragama. Aneh    memang, bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan melandaskan          falsafah negaranya pada Ketuhanan Yang Maha Esa, ternyata menjadi negarayang paling korup di Asia dan di dunia. Angka Human Development Index (HDI)      kita juga tertinggal jauh dengan negara yang dulunya belajar dengan kita. Prestasi            yang semakin menurun dan citra yang buruk merupakan ironi bagi kita. Para          pakar berpendapat bahwa krisis moneter yang menggelinding menjadi krisis         multidimensional salah satu penyebabnya adalah masih dimarginalkannya            pendidikan sebagai faktor perubah nasib bangsa. Perubahan bangsa baik yang   mengarah kepada kemajuan (progresif) maupun yang mengarah kepada      kemunduran (regresif) merupakan masalah yang terkait langsung maupun tidak      langsung dengan penyelengaraan pendidikan, baik formal, maupun informal. Pendidikan sebagai human capital akan menjadi suatu aset dan berperan sebagai          agen perubahan sosial yang akan mampu membawa dan mengarahkan seseorang         (penduduk Indonesia) pada umumnya untuk meraih masa depan yang gemilang    berkeadilan dan sejahtera. Kenyataan menunjukan bahwa perkembangan bangsa    Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini mengarah kepada perubahan yang bersifat regresif (mundur), terutama dalam bidang etika dan moral (akhlak).
Pendidik (Guru) merupakan komponen vital dan fundamental dalam proses pendidikan, yang mengedepankan proses pematangan kejiwaan, pola pikir dan pembentukan serta pengembangan karakter (character building) bangsa untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya. Keberadaan dan peran pendidik dalam proses pembelajaran tidak dapat digantikan oleh siapapun dan apapun. Pendidik yang handal, profesional dan berdaya saing tinggi, serta memiliki karakter yang kuat dan cerdas merupakan modal dasar  dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas yang mampu mencetak sumberdaya manusia yang berkarakter, cerdas dan bermoral tinggi. Sumberdaya manusia yang demikianlah yang sebenarnya diperlukan oleh bangsa Indonesia untuk dapat bersaing dengan negara–negara lain dan dapat berperan serta aktif dalam perkembangan dunia di era global dan bebas hampir tanpa batas ini.   
                  
pendidik yang berkarakter kuat,cerdas masih minim:Saat ini ada kecenderungan stakeholder dan masyarakat cenderung memacu agar siswa memiliki kemampuan akademik dan penguasaan ilmu pengetahuan. Sekolah dan masyarakat merasa bangga kalau siswa atau anak-anak mereka mencapai nilai akademik tinggi. Hal ini dikatakan oleh Baedhowi, Direktur Jenderal PMPTK, Depdiknas, dalam seminar Nasional pendidikan dan pendidikan guru sebagai wahana pembentukan karakter bangsadi Kampus UT, di Jakarta.

Ia menambahkan untuk mencapai nilai tinggi tidak jarang orang tua (yang mampu) mengirim anak-anaknya mengikuti pendidikan non formal seperti kursus maupun les privat. Ini tidak salah namun yang menjadi masalah adalah dengan keinginan untuk memperoleh nilai akademik yang tinggi, masalah non akademik terutaman pembentukan karakter, pembentukan kepribadian, sikap, etos kerja dan sejenisnya sering terabaikan, ungkapnya.

Selain itu ia juga menyatakan akibat dari ini semua adalah tidak jarang para lulusan termasuk lulusan perguruan tinggi banyak yang tidak memiliki karakter yang  kuat     dan      cerdas.
Ia juga menyatakan saat ini jumlah pendidik yang berkarakter kuat dan cerdas seperti yang diharapkan juga terbatas jumlahnya. Namun kita tidak bisa menilai secara kuantitatif, hanya bisa diukur dengan kualitatif,ungkapnya.

Dalam hal ini pihaknya memberikan strategi atau upaya bagaimana membentuk guru yang berkarakter kuat dan cerdas. Strategik pertama adalah dengan strategi formal yang dilakukan pada saat calon pendidik mengikuti proses pendidikan, ungkapnya.

Ia mencontohkan saat mengikuti pendidikan/kuliah di Program Guru Sekolah Dasar (PGSD), IKIP atau lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Kurikulum dan materi kuliah perlu ditinjau dan dikaji ulang secara periodik untuk meyakinkan apakah Character building sudah tercakup secara memadai termasuk bagaimana melaksanakannya, tuturnya.
Sementara itu strategi yang lain adalah program tindak lanjut dari strategi pertama yang dilakukan saat lulusan telah menjadi pendidik. Prinsip once for all dan all in one sangat tidak cocok dalam membangun karakter. Upaya pembentukan karekater harus dilakukan secara periodik dan berkesinambungan dan tidak hanya dilakukan          sekaliu ngkapannya

Selain itu ia juga mengatakan pendidikan karakter ini tidak bisa dilakukan hanya dengan ceramah. Ini harus dilakukan dengan diulang-ulang dan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari           ungkapanya.
Misalnya dengan ucapan selamat pagi, selamat siang dan ucapan terima kasih kalau diulang-ulang bisa menjadi pola sikap seseorang, sehingga bisa dikatakn sebagai karakterdan untuk di sekolah atau di kampus kuncinya adalah tata tertib sekolah atau kampus, tambahnya.
MEMBANGUN MORALITAS MAHASISWA SEBAGAI CALON GURU YANG BERKARAKTER KUAT DAN CERDAS
Akhir-akhir ini sedang ramai-ramainya orang mencoba untuk menjadi seorang guru. Sudah diketahui bersama dengan anggaran 20% dari anggaran APBN untuk pendidikan, tentu saja guru sebagai tenaga pendidik mendapatkan jatah yang lebih dari pemerintah. Dengan adanya sertifikasi yang menjadikan guru sebagai profesi, tunjangan dan gaji ketigabelas, membuat masyarakat berlomba-lomba untuk memasuki jajaran pegawai negri sipil terutama sebagai guru.
Bahkan, lonjakan minat yang mendaftar dalam fakultas keguruan dan ilmu pendidikan meningkat drastis. Ini disebabkan karena masa depan guru akan membaik dengan adanya tunjangan dan sertifikasi. Tidak hanya dengan berkuliah pada fakultas keguruan dan ilmu pendidikan yang semakin diminati, tetapi juga pengambilan akta empat juga tinggi. Akta IV merupakan salah satu sarana yang mampu membuat seseorang dengan ijazah strata atau diplomanya yang bukan berorientasi pada bidang pendidikan mampu mengampu atau berkecimpung di dunia pendidikan. Ijazah akta IV ini dapat diajukan lamarannya menjadi seorang pengajar.
Karena minat dari masyarakat semakin meningkat, maka pembinaan dalam dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi yang membentuk calon guru yang berkualitas semakin mengoptimalkan kinerja dosen. Dapat diharapkan calon-calon guru yang akan dicetak dapat menjadi guru yang dapat menjadikan contoh yang baik bagi anak didiknya kelak. Tentu saja bangsa kita akan semakin diuntungkan dengan meningkatnya kecerdasan bangsa dan mampu menjadikan  negara kita menjadi Negara Indonesia yang maju.
Untuk itu, seorang guru harus memiliki keteladanan yang berkarakter kuat dan cerdas. Inilah yang akan dibahas dalam makalah yang bertajuk “Membentuk Moralitas Mahasiswa Sebagai Calon Guru yang Berkarakter Kuat dan Cerdas”.
Permasalahan yang dihadapi dalam membentuk moralitas mahasiswa sebagai calon guru yang berkarakter kuat dan cerdas adalah :
1.      Bagaimana criteria guru yang berkualitas dan professional ?
2.      Bagaimana cara membentuk moral mahasiswa sebagai calon guru yang berkarakter kuat dan cerdas ?
3.      Kendala apa saja yang sering dihadapi untuk menjadi calon guru yang professional, berkarakter kuat dan cerdas ?
Sering kita mendengar bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Mungkin itu tidak lagi berlaku dalam zaman sekarang ini. Kehidupan guru, saat ini lebih baik dari dahulu. Guru pun sekarang adalah sebuah profesi yang mulia. Untuk itu, guru harus berkualitas dan professional. Guru yang berkualitas akan mencetak anak didik yang berprestasi gemilang. Guru yang profesional adalah guru yang menguasai bidang ajar yang akan diajarkan pada anak didik, sehingga anak didik tidak akan terjerumus dalam ilmu tersebut dikemudian hari.
Menurut Ahmad Makki Hasan Guru harus peka dan tanggap terhadap berbagai perubahan, pembaharuan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sejalan dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman. Profesionalitas guru merupakan hal paling utama bagi keberhasilan suatu sistem pendidikan. Syarat guru sebagai guru yang professional salah satunya adalah dengan program sertifikasi guru. Dalam lokomedia.or.id dijelaskan bahwa tujuan sertifikasi adalah:
1. Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik    professional.
2.  Meningkatakan proses dan hasil pembelajaran.
3.  Meningkatakan kesejahteraan guru.
4. Meningkatkan martabat guru, dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional    yang bermutu.
Dalam jurnal  Desi Remirsa, selain sertifikasi guru yang professional memiliki cirri.
1.      Memiliki kemampuan intelektual yang memadai
2.      Kemampuan memahami visi dan misi pendidikan
3.      Keahlian mentransfer ilmu pengetahuan atau metodelogi pembelajaran
4.      Memahami konsep perkembangan anak/psikologi perkembangan
5.      Kemampuan mengorganisasi dan pemecah masalah.
6.      Kreatif dan memil;iki seni dalam mendidik.
Guru yang profesional dimulai dari mahasiswa yang cerdas dan bertanggung jawab. Sayangnya mahasiswa di zaman sekaran ini, seenaknya sendiri dan tidak sungguh-sungguh dalam menjalani perkuliahan. Padahal, mahasiswa menopang beban berat karena dianggap sebagai pundak perjuangan bangsa untuk menjaga dan            membangun     kualitas            diri       bangsa.
M. Rajab menulis bahwa krisis jati diri yang menyebabkan rusaknya moral pemuda atau mahasiswa itu bisa disebabkan oleh beberapa faktor,
1. faktor individu yang kurang menyadari tugas dan tanggung jawabnya serta   identitasnya sebagai mahasiswa,
2.  faktor keluarga yang kurang mendukung dan memperhatikan anaknya, sehingga anak berbuat semaunya sendiri, dan
3. faktor lingkungan yang kurang mendukung untuk mengembangkan potensinya, baik lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat.
Untuk itu perlu sekali adanya pembinaan dan pengertian untuk mahasiswa agar siap menjadi calon guru yang profesional. Pendidikan dalam mata kuliah wajib dimaksimalkan. Mahasiswa juga harus turut aktif dalam pengembangan potensi yang.  Mereka            punya.
Penyuluhan dari luar, seperti seminar, sarasehan sangat diperlukan mahasiswa yang ingin maju. Motivasi yang tinggi dan daya dukung dari luar sangat berpengaruh dalam membentuk mental guru yang profesional. Pendidikan agama akan sangat berpengaruh dalam membentuk akhlak mulia sebagai seorang guru. Sikap jujur, tanggung jawab, sabar, menyampaikan amanah adalah sifat-sifat yang wajib  dimiliki            guru.  .
Guru adalah orang yang memberikan bimbingan dan ilmu pada anak didiknya. Karena itu guru dituntut menjadi seseorang yang cerdas serta memiliki karakter kuat. Berkarakter kuat artinya adalah guru yang jujur, berakhlak, cerdas, mampu, bertanggung jawab. Sifat-sifat ini dapat dibentuk ketika mengenyam bangku perkuliahan. Maka, mahasiswa FKIP harus mampu menyerap ilmu dan memperbaiki moral secara optimal agar nanti ke depannya mampu menjadi guru yang.   berkarakter      kuat     dan      cerdas
Menurut Isjoni selain otak guru penampilan seseorang calon guru harus sesuai dengan persyaratan, misalnya cara berjalan, cara duduk, cara berkomunikasi dengan gerakan tubuh, serta raut dan mimik wajah dikala berhadapan dengan audiensi. Aspek kemampuan berkomunikasi, sangat diperlukan, bagaimana kemampuan seorang calon guru dalam berkomunikasi di dalam proses pembelajaran, berkomunikasi dengan murid-murid, dengan guru-guru atau audien. Disamping itu, perlu pula dilakukan tes psikologi, dengan tes ini dapat ditemukan tingkat intelegensi dan daya nalar calon guru.
Dalam pembentukan mahasiswa sebagai calon guru yang berkarakter kuat dan cerdas tentu ada kendala-kendala yang dihadapi. Mulai dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal dimulai dari niat mahasiswa mengikuti perkuliahan, apakah untuk memperoleh ilmu yang disampaikan oleh dosen atau hanya untuk main-main saja. Rasa malas untuk mngikuti perkuliahan sering menghambat proses belajar. Guru yang baik adalah guru yang disiplin. Faktor ekstrnal yang dihadapi mahasiswa dalam membentuk karakter kuat dan cerdas adalah hiburan-hiburan yang mengalihkan perhatian mahasiswa dari belajar.
Selain faktor yang membuat turun prestasi mahasiswa, dosen, pemerintah, orang tua dan lingkungan juga berpengaruh. Dosen yang seenaknya sendiri dalam mengajar mahasiswa, akan membuat mahasiswa semakin malas mengikuti perkuiahan. Pemerintah yang mengesampingkan pendidikan guru dan tidak mendukung sarana dan prasarana pendidikan guru, akan membuat mahasiswa tidak mengoptimalkan ilmu yang dimiliki. Pemerintah juga harus menyeleksi secara benar-benar calon guru yang akan diangkat menjadi anggota PNS, tidak asal-asalan atau dengan menerima uang suap untuk menjadikan seseorang menjadi PNS. Orang tua juga berpengaruh penting. Orang tua harus memotivasi anak-anak mereka dan selalu mendukung kegiatan belajar mahasiswa. Lingkungan sekitar mahasiswa tak kalah penting dalam mendukung pembentukan moral yang baik para mahasiswa. Lingkungan yang baik akan membuat mahasiswa menjadi bermoral baik, sebaliknya lingkungan yang buruk akan membuat mahasiswa menjadi bobrok moralnya.
Tentu saja ini akan membuat profesionalitas guru di masa depan menurun. Trining dan motivasi sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas mahasiswa. Masalah ini tidak boleh dipandang sebelah mata oleh semua pihak. Karena ini juga menyangkut kepentingan bangsa di masa yang akan datang.
Peran dari semua pihak sangat diperlukan. Tidak hanya tanggung jawab mahasiswa saja. Perlu dukungan dari semua pihak untuk membuat calon guru menjadi guru yang benar-benar kompeten di bidangnya dan memiliki karakter kuat serta cerdas.

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan masalah diatas adalah:
a. guru yang profesional dan berkualitas adalah guru memiliki kemampuan intelektual yang memadai, kemampuan memahami visi dan misi pendidikan, keahlian mentrasfer ilmu pengetahuan atau metodelogi pembelajaran, memahami konsep perkembangan anak/psikologi perkembangan, kemampuan mengorganisasi dan pemecahan masalah, dan kreatif dan memiliki seni dalam mendidik.
b. cara membentuk moral mahasiswa sebagai calon guru yang berkarakter kuat dan cerdas adalah dengan sering mengadakan seminar, sarasehan diskusi, sharing dan memotifasi mahasiswa calon guru.
c. kendala yang sering dihadapi mahasiswa berasal dari diri sendiri, dosen,              pemerintah, orang tua dan lingkungan
Program pendidikan karakter, memerlukan keteladanan:PEMERINTAH, melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SD-Perguruan Tinggi. Menurut Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh, pembentukan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, kata Mendiknas, maka  tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang. Ia juga berharap, pendidikan karakter dapat membangun kepribadian bangsa. Mendiknas mengungkapkan hal ini saat berbicara pada pertemuan Pimpinan Pascasarjana LPTK Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) se-Indonesia di Auditorium Universitas Negeri Medan (Unimed), Sabtu (15/4/2010).
Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, bisa dimaklumi, sebab selama ini dirasakan, proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji.
Bahkan, bisa dikatakan, dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni
menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-an. Menurutnya, pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Dalam bukunya, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (2010), Doni Koesoema Albertus menulis, bahwa pendidikan karakter bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan. Dalam pendidikan karakter, yang terutama dinilai adalah perilaku, bukan pemahamannya. Doni membedakan pendidikan karakter dengan pendidikan moral atau pendidikan agama. Pendidikan agama dan kesadaran akan nilai-nilai religius menjadi motivator utama keberhasilan pendidikan karakter.
Tetapi, Doni yang meraih sarjana teologi di Universitas Gregoriana Roma Italia, agama tidak dapat dipakai sebagai pedoman pengatur dalam kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat yang plural. “Di zaman modern yang sangat multikultural ini, nilai-nilai agama tetap penting dipertahankan, namun tidak dapat dipakai sebagai dasar kokoh bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Jika nilai agama ini tetap dipaksakan dalam konteks masyarakat yang plural, yang terjadi adalah penindasan oleh kultur yang kuat pada mereka yang lemah,” tulisnya.
Oleh karena itu, simpul Doni K. Albertus, meskipun pendidikan agama penting dalam membantu mengembangkan karakter individu, ia bukanlah fondasi yang efektif bagi suatu tata sosial yang stabil dalam masyarakat majemuk. Dalam konteks ini, nilai-nilai moral akan bersifat lebih operasional dibandingkan dengan nilai-nilai agama. Namun demikian, nilai-nilai moral, meskipun bisa menjadi dasar pembentuk perilaku, tidak lepas dari proses hermeneutis yang bersifat dinamis dan dialogis.
Sebagai Muslim, kita tentu tidak sependapat dengan pandangan Doni K. Albertus semacam itu. Sebab, bagi Muslim, nilai-nilai Islam diyakini sebagai pembentuk karakter dan sekaligus bisa menjadi dasar nilai bagi masyarakat majemuk. Masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi Muhamamd saw, berdasarkan kepada nilai-nilai Islam, baik bagi pribadi Muslim maupun bagi masyarakat plural. Tentu kita memahami pengalaman sejarah keagamaan yang berbeda antara Katolik dengan Islam.
Namun, dalam soal pendidikan karakter bagi anak didik, berbagai agama bisa bertemu. Islam dan Kristen dan berbagai agama lain bisa bertemu dalam penghormatan terhadap nilai-nilai keutamaan. Nilai kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, tanggung jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas, bisa diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia. Bisa jadi, masing-masing pemeluk agama mendasarkan pendidikan karakter pada nilai agamanya masing-masing.
Terlepas dari perdebatan konsep-konsep pendidikan karakter, bangsa Indonesia memang memerlukan model pendidikan semacam ini. Sejumlah negara sudah mencobanya. Indonesia bukan tidak pernah mencoba menerapkan pendidikan semacam ini. Tetapi, pengalaman menunjukkan, berbagai program pendidikan dan pengajaran – seperti pelajaran Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4),  – belum mencapai hasil optimal, karena pemaksaan konsep yang sekularistik dan kurang seriusnya aspek pengalaman. Dan lebih penting, tidak ada contoh dalam program itu!  Padahal, program pendidikan karakter, sangat memerlukan contoh dan keteladanan. Kalau hanya slogan dan ’omongan’, orang Indonesia dikenal jagonya!
Harap maklum, konon, orang Indonesia dikenal piawai dalam menyiasati kebijakan dan peraturan. Ide UAN,  mungkin bagus!  Tapi, di lapangan, banyak yang bisa menyiasati bagaimana siswanya lulus semua. Sebab, itu tuntutan pejabat dan orangtua. Guru tidak berdaya. Kebijakan sertifikasi guru, bagus! Tapi, karena mental materialis dan malas sudah bercokol, kebijakan itu memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan berburu ilmu!  Bukan tidak mungkin, gagasan Pendidikan Karakter ini nantinya juga menyuburkan bangku-bangku seminar demi meraih sertifikat pendidikan karakter, untuk meraih posisi dan jabatan tertentu.
Muhammad Natsir, salah satu Pahlawan Nasional, tampaknya percaya betul dengan ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.”
Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah “guru” dan “pengorbanan”.  berkorban”. Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar “guru pengajar dalam kelas formal”. Guru adalah para pemimpin, orangtua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Guru bukan sekedar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.
Mohammad Natsir adalah contoh guru sejati, meski tidak pernah mengenyam pendidikan di fakultas keguruan dan pendidikan. Hidupnya dipenuhi dengan idealisme tinggi memajukan dunia pendidikan dan bangsanya. Setamat AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung, dia memilih terjun langsung ke dalam perjuangan dan pendidikan. Ia dirikan Pendis (Pendidikan Islam) di Bandung. Di sini, Natsir memimpin, mengajar, mencari guru dan dana.  Terkadang, ia keliling ke sejumlah kota mencari dana untuk keberlangsungan pendidikannya. Kadangkala, perhiasan istrinya pun digadaikan untuk menutup uang kontrak tempat sekolahnya.
Disamping itu, Natsir juga melakukan terobosan dengan memberikan pelajaran agama kepada murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschool (Sekolah Guru). Ia mulai mengajar agama dalam bahasa Belanda. Kumpulan naskah pengajarannya kemudian dibukukan atas permintaan Sukarno saat dibuang ke Endeh, dan diberi judul Komt tot Gebeid (Marilah Shalat).
Kisah Natsir dan sederet guru bangsa lain sangat penting untuk diajarkan di sekolah-sekolah dengan tepat dan benar. Natsir adalah contoh guru yang berkarakter dan bekerja keras untuk kemajuan bangsanya. Ia adalah orang yang sangat haus ilmu. Cita-citanya bukan untuk meraih ilmu kemudian untuk mengeruk keuntungan materi dengan ilmunya. Tapi, dia sangat haus ilmu, lalu mengamalkannya demi kemajuan masyarakatnya.
Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, M. Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”, Natsir mengingatkan bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat pengorbanan. Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan dengan pra-kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, kata Natsir, bangsa Indonesia sangat mencintai pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah kemerdekaan, segalanya mulai berubah. Natsir menulis:
“Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara  yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai…Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah… Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya…”
Peringatan Natsir hampir 60 tahun lalu itu perlu dicermati oleh para elite bangsa, khususnya para pejabat dan para pendidik. Jika ingin bangsa  Indonesia menjadi bangsa besar yang disegani di dunia, wujudkanlah guru-guru yang mencintai pengorbanan dan bisa menjadi teladan bagi bangsanya.  Beberapa tahun menjelang wafatnya, Natsir juga menitipkan pesan kepada sejumlah cendekiawan yang mewawancarainya, ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia.”  Lebih jauh, kata Natsir:
”Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi,  gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.”
Seorang dosen fakultas kedokteran pernah menyampaikan keprihatinan kepada saya. Berdasarkan survei, separoh lebih mahasiswa kedokteran di kampusnya mengaku, masuk fakultas kedokteran untuk mengejar materi. Menjadi dokter adalah baik. Menjadi ekonom, ahli teknik, dan berbagai profesi lain, memang baik. Tetapi, jika tujuannya adalah untuk mengeruk kekayaan, maka dia akan melihat biaya kuliah yang dia keluarkan sebagai investasi yang harus kembali jika dia lulus kuliah. Ia kuliah bukan karena mencintai ilmu dan pekerjaannya, tetapi karena berburu uang!
Kini, sebagaimana dikatakan Natsir, yang dibutuhkan bangsa ini adalah “guru-guru sejati” yang cinta berkorban untuk bangsanya. Bagaimana murid akan berkarakter; jika setiap hari dia melihat pejabat mengumbar kata-kata, tanpa amal nyata. Bagaimana anak didik akan mencintai gurunya, sedangkan mata kepala mereka menonton guru dan sekolahnya materialis, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui lembaga pendidikan.
Pendidikan karakter adalah perkara besar. Ini masalah bangsa yang sangat serius. Bukan urusan Kementerian Pendidikan semata. Presiden, menteri, anggota DPR, dan para pejabat lainnya harus memberi teladan. Jangan minta rakyat hidup sederhana, hemat BBM, tapi rakyat dan anak didik dengan jelas melihat, para pejabat sama sekali tidak hidup sederhana dan mobil-mobil mereka – yang dibiayai oleh rakyat – adalah mobil impor dan sama sekali tidak hemat.
Pada skala mikro, pendidikan karakter ini harus dimulai dari sekolah, pesantren, rumah tangga, juga Kantor Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama. Dari atas sampai ke bawah, dan sebaliknya. Sebab, guru, murid, dan juga rakyat sudah terlalu sering melihat berbagai paradoks. Banyak pejabat dan tokoh agama bicara tentang taqwa; berkhutbah bahwa yang paling mulia diantara kamu adalah yang taqwa. Tapi, faktanya, saat menikahkan anaknya, yang diberi hak istimewa dan dipandang mulia adalah pejabat dan yang berharta. Rakyat kecil dan orang biasa dibiarkan berdiri berjam-jam mengantri untuk bersalaman.
Kalau para tokoh agama, dosen, guru, pejabat, lebih mencintai dunia dan jabatan, ketimbang ilmu, serta tidak sejalan antara kata dan perbuatan, maka percayalah Pendidikan Karakter yang diprogramkan Kementerian Pendidikan hanya akan berujung slogan!